Kemajuan teknologi informasi sangat pesat dalam beberapa dekade ini membawa dampak positif maupun negatif bagi setiap orang khususnya pada Budaya Literasi.

Maraknya penggunaan internet, televisi, telepon seluler, smartphone, Facebook, Twitter, MySpace, Path, Instagram, Whatsapp, Messenger, dan lainnya. Sehingga menyebabkan kemungkinan munculnya kegiatan dan aktivitas komunikasi melalui media, short message service (SMS). Chatting, komentar dalam forum daring (online), blog, chatrooms, status updating seperti Twitter dan Facebook, dan bentuk online lainnya.

Di era digital seperti sekarang ini seharusnya dapat lebih mudah dan cepat dalam meningkatkan budaya literasi di setiap tempat. Bahwa dengan meningkatnya budaya literasi akan berpengaruh terhadap kecakapan seseorang akan ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir serta perilaku yang positif.

Selain itu akan berpengaruh juga pada perkembangan dalam semua bidang, dikarenakan lahirnya ide-ide baru dan inovasi-inovasi baru dan terbarukan. Namun dalam pelaksanaan bahwa hal itu tidak seluruhnya dapat terwujud.

Indonesia akan menghadapi defisit sumber daya manusia berkualitas jika generasi muda dan pegiat literasi tidak mampu meningkatkan kapasitas diri secara mandiri dan memperluas diri dengan memanfaaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/ICT).

Dengan memanfaatkan peningkatan TIK diharapkan dapat menciptakan suatu budaya yaitu budaya literasi. Budaya literasi sangat berperan dalam menciptakan masyarakat yang cerdas, yang pada gilirannya nanti akan membentuk bangsa yang berkualitas.

Secara definisi, menurut Alberta, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan keterampilan, berpikir kritis dalam memacahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Literasi merupakan suatu kompetensi dasar yang mencakup 4 aspek kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dua kemampuan pertama (menyimak dan berbicara) kemampuan berbahasa yang tercakup dalam kemampuan orasi (oracy). Sedangkan kemampuan kedua (membaca dan menulis ) merupakan kemampuan yang tercakup dalam kemampuan literasi (literacy).

Kemampuan orasi merupakan kemampuan yang berhubungan dengan bahasa lisan, sedangkan kemampuan literasi berkaitan dengan bahasa tulis.

Proses literasi mengandung empat ciri universal yaitu:

1). Tujuan tekstual; ada pesan komunikasi tertulis yang sesuai dengan tujuannya;

2). Kesepakatan, makna dari pesan ditafsirkan sesuai dengan yang dimaksudkan;

3). Penggunaan bahasa yang bagus (seperti pada syair); untuk mengklarifikasi pesan harus menggunakan kemampuan bahasanya;

4). Resiko yang diambil adalah menerima tantangan baru dalam berbahasa.

Berdasarkan data dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam kegiatan literasi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu Kecakapan, Akses, Alternatif dan budaya. Berdasarkan data Kemendikbud Indeks Alibaca menunjukkan hanya sembilan provinsi yang masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi berkategori renah, dan satu provinsi termasuk sangat rendah. Rata-rata indeks Alibaca nasional berada di titik 37,32% yang tergolong rendah. (sumber: databoks.katadata.co.id)

Secara teoritis, faktor pertama yaitu kecakapan, faktor ini tersusun dari dua indikator, yaitu bebas buta aksara latin dan rata-rata lama sekolah penduduk usia 25+. Faktor kedua yaitu alternatif yang tersusun dari indikator sekolah yang memiliki jaringan internet, anggota rumah tangga yang mengakses internet, anggota rumah tangga yang menggunakan komputer, dan akses masyarakat terhadap internet dan perangkat komputer.

Faktor ketiga yaitu akses terbagi menjadi dua sub-dimensi, yaitu sub-dimensi akses di sekolah dan akses di masyarakat. Akses di sekolah yaitu angka perpustakaan sekolah dalam kondisi baik dan jumlah petugas pengelola perpustakaan sekolah. Dan akses di masyarakat yaitu perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, serta rumah tangga yang membeli surat kabar dan majalah.

Dan faktor terakhir, yaitu faktor budaya yang menunjukkan kebiasaan perilaku masyarakat dalam mengakses bahan-bahan literasi seperti membaca buku cetak, membaca koran atau majalah, membaca artikel atau berita di media elektronik/internet, serta berkunjung ke perpustakaan umum dan taman bacaan.

Budaya literasi yang sekarang ini rendah terjadi disebabkan pola pikir baik dalam pendidikan formal maupun non formal hanya berbasis hasil, bukan proses. Maka perlu dalam meningkatkan budaya literasi perlu digalakkan kembali yaitu guru / motivator harus berusaha memotivasi untuk melatih ketrampilan menulis, dimana semakin sering ketrampilan menulis itu terasah maka akan memberi semangat untuk lebih berani menuangkan pikiran lewat tulisan dan akan mampu mengilhami banyak orang dan menjadi bahan referensi bagi anak didik.

Oleh karena itu, dalam meningkatkan budaya literasi dilihat dari faktor kecakapan perlu dipertahankan dan ditingkatkan terus dalam upaya pemerataan pendidikan dan pemberantasan buta aksara sudah cukup baik, baik oleh lembaga pendidikan formal maupun non formal.

Untuk faktor alternatif, perlu dorongan pemanfaatan teknologi informasi disertai kampanye penggunaan internet yang positif dan sehat, sehingga dapat menunjang peningkatan aktivitas literasi masyarakat.

Dalam faktor akses, perlu peningkatan upaya secara sistematis untuk akses terhadap fasilitas literasi publik, baik di sekolah maupun di masyarakat.

Untuk faktor budaya, yaitu meningkatkan dan mendukung Gerakan Literasi Bangsa, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Gerakan Literasi Keluarga yang digagas oleh Kemendiikbud, dan perlu diimbangi dengan dorongan pembiasaan di rumah, misalnya melalui rutinitas yang bisa dinamakan “Jam Belajar atau Jam Membaca” pada waktu berkumpul dengan keluarga.

Selain itu, masyarakat dan pegiat literasi dapat berpartisipasi dengan membuat perpustakaan di rumah, menyelenggarakan aktivitas rutin membaca di tingkat keluarga, serta menjadi donatur bantuan buku bagi sekolah maupun komunitas literasi.

Dan terakhir, dari pihak swasta dan dunia usaha / dunia industri harus mendukung dalam pemenuhan akses literasi melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), misalnya mendukung perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan komunitas.